Monday, March 25, 2013

Social History


Pada pertemuan hari Kamis, tanggal 21 Maret, kelas kami membahas mengenai social history.  Pada pembahasan kali ini, saya akan membahas ulang mengenai social history tersebut.
Pertama, apa itu social history? Dengan adanya social history kita akan mengetahui  latar belakang dari klien kita. Harus diingat bahwa tidak semua orang sama walaupun mengalami problem yang sama. Kita juga harus mengingat bahwa masalah yang dihadapi klien bisa dari faktor bawaan dan faktor lingkungan. Selain itu dengan social history kita dapat melihat apakah klien dapat adaptive atau bahkan maladaptive, sehingga kita juga mengetahui apa strategi yang klien pakai dalam hidupnya?
Kedua, apa tujuan dari social history?  Tujuan dari social history adalah agar kita sebagai psikolog memperoleh informasi mengenai asal-usul permasalahan klien. Pewawancara juga ingin mendengar persepsi klien dari, serta makna dan perasaan yang berkenaan dengan hal-hal yang mereka laporkan.
Lalu apa saja area yang dibahas mengenai social history?
  • Family History
Penting bagi kita sebagai seorang psikolog menanyakan asal-usul keluarga klien, tanyakan juga mengenai nenek moyang klien.
Selain itu, kita juga harus paham apakah klien memiliki problem yang serupa atau tidak dengan keluarganya. Misalnya dalam hal medis: diabetes
Perlu kita perhatikan pola komunikasi dan karakteristik keluarga klien, jangan lupa juga untuk melihat budaya apa yang ada di dalam keluarganya.
Kita dapat melihat informasi mengenai keluarganya dengan membuat genogram
(yang dikembangkan oleh Murray Bowen)
Contoh dari Genogram:


  • Educational History
Dalam masalah pendidikan, kita harus mengetahui bagaimana relasi antara klien dengan teman, guru dan juga kita harus tau bagaimana klien memandang pendidikan, hal ini dikarenakan sekolah/pendidikan pembentuk kepribadian seseorang, sebab waktu seorang anak lebih besar pada lingkungan sekolah daripada lingkungan keluarga.
Jangan berpatokan mengenai hasil belajar (rapor) klien, karena tidak selalu akurat dalam menggambarkan klien.
  • Occupational Training / Job History
Penting bagi psikolog untuk mengetahui apa pekerjaan klien, namun hati-hati jangan sampai pertanyaan kita menyinggung perasaannya. Tanyakan dengan pertanyaan yang tidak menyinggung, misalnya “apa kesibukan Anda setiap hari?”.
Lalu setelah itu, lihat mengenai pengalaman kerja, apakah klien sering bergunta-ganti perusahaan? Dan sebagainya.
  • Marital History
Selain mengetahui berapa kali klien berumah tangga, kita juga harus mengetahui  cerita mengenai rumah tangganya. Hati-hati saat awal menanyakan mengenai status klien, karena ini adalah persoalan yang sensitif.
  • Interpersonal Relationship
Psikolog harus mengetahui bagaimana relasi klien dengan teman, dan sebagainya.
  • Recreational Preferences
Hidup harus seimbang antara bekerja dengan rekreasi, karena itu kita perlu mengetahui bagaimana klien berekreasi? Apakah sering atau jarang? Dan sebagainya.
  • Sexual History
Permasalahan seksual adalah hal yang sangat sensitif, sehingga psikolg harus berhati-hati dalam memberikan pertanyaan. Psikolog harus memilih pertanyaan yang seperti apa yang dapat ditanyakan kepada klien. Pertanyaan yang menyangkut sexual history diantaranya adalah kekerasan seksual, fungsi seksual, masalah seksual, orientasi seksual, penyakit menular seksual, kepuasan seksual, dan lain sebagainya.
  • Medical History
Psikolog perlu menanyakan mengenai catatan medis klien. Meliputi: rawat jalan, riwayat rawat inap, riwayat operasi, masalah kesehatan gigi dan mulut yang serius, dll. Jika klien sakit secara medis ada baiknya diselesaikan dahulu secara medis.
  • Psychiatric/Psychotherapy History
Penting mengetahui apakah klien sebelumnya pernah berobat dengan psikolog/psikiater lainnya, hal ini bertujuan agar kita dapat mengetahui diagnosa sebelumnya dan dapat mengetahui apa yang harus kita lakukan selanjutnya.
  • Legal History
Apakah klien pernah melanggar aturan negara atau sebagainya? Kita juga harus mengetahui sejarah permasalahan ini. Klien yang dengan permasalahan perilaku yang tidak legal dapat  dikategorikan sebagai patologi
  • Alcohol and Substance Use/Abuse
  • Nicotine and/or Caffeine Consumption
  • Personal and Social History of Childhood and Adolescence
Tanyakan pada klien mengenai masa kecil klien, termasuk apakah klien pernah mengalami kekerasan, kesehatannya bagaimana, pendidikan, perawatan medis, dan lain sebagainya
  • Personal and Social History of an Adult
Psikolog harus menanyakan bagaimana tentang pekerjaan klien, agama (bagaimana spiritualitasnya), hubungan sosial, dan lain sebagainya

Dalam menanyakan social history klien, baiknya seorang psikolog harus membuat inquiries, sebab tidak semua cerita klien akan diingat hanya mengandalkan memory saja.
Berikut saya cantumkan bagaimana wawancara social history yang baik:
  • Dengar apa yang klien katakan pada kita sebagai psikolog lalu buat inquiry
  • Bicara dan catat yang memang diperlukan
  • Jangan menginterogasi
  • Milikilah rasa ingin tahu yang besar yang muncul secara natural
  • Catat hal penting yang dikatakan klien
  • Berhati-hati terhadap perbedaan kultur
  • Ajak klien bicara secara jelas dengan melakukan probing

Demikian pembahasan saya mengenai social history, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, terima kasih J

Friday, March 15, 2013

Keterampilan Dasar Wawancara


Dalam pengaplikasian teknik wawancara, ada beberapa keterampilan dasar wawancara yang harus dimiliki oleh seorang psikolog. Keterampilan tersebut adalah kemampuan membina rapport, empati, attending behavior, teknik bertanya, keterampilan observasi, dan active listening.

-                      Ketika seorang klien datang untuk berkonsultasi pertama kali, kita harus mampu membina rapport yang baik. Kenapa? Tentunya agar klien tersebut merasa nyaman, dan merasa kita mampu serta membuat ia percaya sehingga klien mampu mengungkap semua masalahnya. Bagaimana caranya? Tentunya senyum yang hangat, sambutan yang bersahabat, dan berjabat tangan saat klien pertama datang. Selain itu, kondisi ruangan yang nyaman dan hangat juga membuat klien lebih nyaman saat menceritakan semua masalahnya. Namun, membina rapport yang baik tidak akan tercipta dalam satu kali pertemuan. Sama seperti kita yang tidak akan curhat kepada teman yang baru pertama kali kita kenal. Tentunya setelah kita merasa nyaman dan dekat dengan teman tersebut kita baru dapat curhat dengan teman tersebut, hal ini sama hubungannya dengan klien dan psikolog tersebut.  Bagaimana agar klien juga merasa nyaman? Selain senyum hangat yang sudah dijelaskan diatas, sikap kita juga turut mempengaruhi cocok atau tidaknya klien dengan kita, misalnya bagaimana raut muka kita saat klien menceritakan masalahnya yang terkadang membuat kita tercengang. Raut muka yang datar membuat klien merasa kita tidak turut merasakan masalahnya, ekspresi kepedulian serta ketertarikan akan membuat klien nyaman menceritakan masalahnya kepada kita. Namun, kita juga jangan menampakkan raut muka yang ‘judgemental’, karena akan membuat klien tidak nyaman dan merasa bersalah. Selain itu, kita juga harus menjaga sikap kita yang membuat kita tercengang. Terkadang ada masalah klien yang membuat kita kaget, namun jaga sikap, jangan berlebihan, berusaha tetap mengontrol diri kita dan memahami perasaannya. Hati-hati juga dengan humor, jangan menyinggung klien. Selain raut muka, tindakan menerima telepon juga dapat mengganggu jalannya percakapan. Tentunya klien akan merasa tidak diperdulikan ketika kita sibuk dengan BBM atau mengangkat telepon saat ia sedang bercerita, melakukan hal lain juga mengalihkan fokus kita terhadap cerita klien. Kita juga harus memperhatikan bahasa, apakah sesuai dengan klien atau tidak, yang dapat kita sesuaikan dengan pendidikannya. Hal-hal diatas termasuk kemampuan membina rapport yang baik dengan klien.

-                      Kedua adalah empathy. Kita akan terus menjaga rapport yang sudah terjalin dengan klien kita dengan adanya empathy tersebut. Kita harus turut merasakan apa yang dirasakan klien kita. Seperti perumpamaan sepatu, walaupun ukuran size sepatu kita berbeda dengannya (kita tidak mengalami yang klien alami), kita tetap berusaha memahami bagaimana jika kita memakai sepatu yang ia kenakan.

-              Ketiga adalah attending behavior. Kunci dari attending behavior adalah mengurangi kuantitas bicara psikolog dan memberikan klien waktu untuk menceritakan diri mereka. Empati cukup ditunjukan dalam keadaan hening namun ditunjang dengan sikap empati nonverbal, seperti kontak mata, dsb.  Ada 4 yang perlu diperhatikan dalam attending behavior:
1. Visual : kita harus menatap klien, jangan mengalihkan pandangan. Mengalihkan pandangan membuat kita seperti tidak tertarik akan pembicaraannya.
2. Vocal qualities : Nada bicara kita jangan terlalu cepat.
3. Verbal Tracking : jangan lompat topik pembicaraan yang sedang klien ceritakan. Misalnya ketika klien sedang menceritakan mengenai keluarganya, kita menanyakan apa pekerjaanya.
4. Body language : Jangan duduk dengan melipat tangan atau menopang dagu, dsb yang membuat klien merasa kita bosan atau tidak tertarik dengan permasalahannya.

-                      Dalam wawancara terdapat dua teknik pertanyaan yang digunakan dalam wawancara, yaitu open question dan closed question. Open question bersifat tidak mengarahkan, dan klien lebih bebas mengekspresikan pertanyaannya. Sedangkan closed question berupa pertanyaan dengan merujuk pada jawaban tertentu seperti pertanyaan yang dengan jawaban pendek sebatas “ya” dan “tidak”. Closed question kadang membuat klien menjadi terpengaruh dengan pemikiran konselor dan menjadi terdistorsi, seperti misalnya pertanyaan: “apakah anda marah?” membuat ia berpikir kalau ia merasa marah padahal belum tentu sebenarnya ia marah.
Namun ada beberapa pertanyaan yang dianggap tidak harus dilakukan. Diantaranya adalah:
1. Being intrusive: ketika klien sulit bicara jangan paksa klien untuk berbicara karena ia akan merasa terganggu dan tidak percaya pada psikolog tersebut
2. Interrogating the client: hindari pertanyaan yang menyudutkan klien, karena membuat klien takut dan menyembunyikan informasi penting.
3. Controlling client explores: jangan memberikan pertanyaan yang terus menerus membuat klien tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya.
4. Using “why” question: menggunakan kata “mengapa” membuat klien hanya memunculkan rasionalisasi atau pembelaan diri dan bukan menjawan dengan jawaban yang sebenarnya.
5. satisfying interviewer’s need: jangan memberikan pertanyaan yang tidak dibutuhkan hanya karena pewawancara sekedar ingin tahu saja.  

-                      Keterampilan Observasi berfokus pada tiga area, yaitu: perilaku non-verbal; perilaku verbal; konflik, diskrepansi, dan inkongruensi.
Kita harus mengobservasi klien pada saat ia menceritakan masalahnya. Perilaku yang harus diobservasi pertama adalah perilaku non-verbal, seperti bagaimana ekspresi wajahnya, bagaimana bahasa tubuhnya (misalnya posisi duduk, tarikan napas, dll).
Perilaku kedua adalah perilaku verbal, perhatikan apakah cerita klien hanya yang itu-itu saja atau tidak, perhatikan juga kata-kata yang ditekankan klien.
Selain perilaku kita juga harus mengobservasi discrepancies&conflict. Pewawancara harus waspada diskrepansi antara tindakan verbal dan nonverbal klien selama wawancara.

-                      Dalam active listening skill, kita harus melakukan probing, yaitu mampu menggali lebih dalam dari apa yang klien ungkap, apakah memang itu benar masalahnya atau tidak. Beri jarak 10-15 detik untuk diam, jangan berbicara tanpa henti. Namun juga jangan terlalu lama, karena dapat dianggap tidak tertarik pada masalah klien, gunakan kontak mata namun jangan berlebihan. Kita juga dapat mengulang kata terakhir yang diucapkan klien agar klien mengetahui bahwa kita tetap “stay tune” mendengarkannya. Gunakan “paraphrasing” yaitu merangkum apa yang klien ceritakan dengan bahasa kita sendiri. Kita juga harus “reflection of feelings”, perjelas perasaan klien. Selain itu kita juga harus menggunakan “parroting” yaitu mengulang perkataan klien. Hal ini bermanfaat untuk memberikan garis besar cerita klien, namun kita juga jangan terlalu sering menggunakan parroting tersebut.

Demikianlah beberapa penjelasan saya mengenai keterampilan dasar wawancara. Semoga hal tersebut berguna bagi kita dan dapat kita terapkan pada saat mengaplikasikan wawancara :D

Tuesday, March 12, 2013

Psi. PIO dan Pendidikan


Menyambung tulisan pada blog saya sebelumnya, kali ini saya akan membahas mengenai teknik wawancara psikolog PIO dan Pendidikan. Pada hari Kamis, 7 Maret 2013, kelas kami membahas mengenai teknik wawancara pada kedua psikolog tersebut. Tiga kelompok pertama menjelaskan tentang teknik wawancara pada psikolog PIO, psikolog tersebut mengatakan bahwa pengertian wawacara menurutnya adalah kegiatan tanya jawab untuk memperoleh informasi. Misalnya untuk mencari informasi dalam perekrutan calon karyawan baru, atau untuk rotasi pegawai lama, promosi, mutasi atau demosi (turun jabatan).  Kelebihan menggunakan teknik wawancara adalah kita dapat mengetahui  apakah calon karyawan tersebut berbohong atau tidak, wawancara juga dapat dilakukan oleh siapa saja secara otodidak. Kekurangannya adalah kita harus jeli dalam melakukan proses wawancara, butuh waktu untuk memperdalam informasi calon pegawai tersebut, dan juga kesimpulan dari wawancara bisa meleset. Dalam melakukan wawancara juga terdapat masalahnya, yaitu diantaranya, emosional calon karyawan menghambat perekrutan, rekan lain tidak sependapat (dalam hal penerimaan calon karyawan) , dan pewawancara dapat saja dibohongi, karyawan yang sudah diterima ternyata telah bekerja di tempat lain. Namun ada penanganannya dalam mengatasi masalah perekrutan, yaitu ketika kita merasa jawaban calon karyawan tidak benar, maka kita bandingkan dengan hasil psikotesnya,  jika rekan lain tidak sependapat dalam penerimaan calon karyawan, diadakan rapat dalam perusahaan, dan jika karyawan baru sudah bekerja di tempat lain, maka diadakan training ulang kepada karyawan lain.  Psikolog PIO jelas berbeda dengan psikolog klinis (pembahasan sebelumnya). Dalam industri dan organisasi, wawancara dapat dilakukan oleh siapa saja yang bukan memiliki background psikolog. Sedangkan klinis, dilakukan oleh seseorang yang memang memiliki basic psikologi di bidang klinis.
Pada kelompok selanjutnya, membahas mengenai psikolog pendidikan. Menurut psikolog yang teman kami wawancara, pengertian teknik wawancara tidaklah jauh berbeda dengan kelompok PIO.  Kelebihan teknik wawancara dalam pendidikan, kita dapat mengetahui informasi mengenai permasalahan siswa, kita juga dapat mengenal seseorang lebih dalam ketika melihat gesture klien/siswa. Ada kekurangan juga yang ditemukan teknik wawancara dalam pendidikan, yaitu terkadang psikolog pendidikan terkesan mengintrogasi klien/siswwa yang ditangani. Selain itu kekurangannya adalah bergantung pada kerjasama antara psikolog dengan siswanya. Selain itu dibutuhkan jam terbang yang tinggi dan skill yang mendalam. Dalam melakukan teknik wawancara juga memiliki kendala, yaitu terkadang siswa menjadi takut dengan psikolog tersebut, menjadi diremehkan (seperti tidak didengarkan, dll) dan terkadang tidak dapat membangun rapor yang baik. Penanganannya dapat berupa pendekatan kepada siswa, tidak menghakimi siswa, serta kita membuat siswa tersebut nyaman, dll.
Pada akhir pembahasan di kelas, Kami mengetahui bahwa sebenarnya kita juga jangan terlalu yakin dengan jam terbang kita yang sudah tinggi, terkadang masalah klien yang sulit belum tentu dapat kita tangani walaupun jam terbang kita sudah tinggi. Jam terbang memang harus tinggi agar aplikasi teknik wawancara menjadi baik, namun kita jangan terlalu percaya diri, sebab jam terbang tidak menentukan baik/tidaknya kita menjadi seorang psikolog :D

Wednesday, March 6, 2013

psychologist and interview


Pada hari Kamis, tanggal 28 Febuari, kelas kami membahas hasil wawancara dengan psikolog klinis dewasa dan klinis anak mengenai teknik wawancara yang sering mereka gunakan. Pengertian wawancara menurut subjek masing-masing berbeda, ada yang mengatakan bahwa teknik wawancara adalah metode, teknik dan cara bagi kita untuk menggali informasi mengenai seseorang, ada juga yang mengatakan bahwa teknik wawancara adalah sebuah kegiatan yang melibatkan suatu proses tanya jawab tapi tidak terbatas pada itu dan memiliki tujuan yang berbeda-beda. Pada dasarnya teknik wawancara adalah modal utama bagi para calon psikolog untuk mengenal klien selain teknik observasi. Banyak hal yang dapat diungkap ketika seorang psikolog mewawancarai klien. Untuk mengenal klien juga dapat digunakan alat tes. Namun, alat tes hanya sebagai alat bantu psikolog tersebut. Disamping itu, klien dapat melakukan faking good saat menjalani tes dengan alat tes. Namun ketika kita mewawancarai klien, kita dapat melihat secara langsung gerak-gerik mereka apakah mereka faking good atau tidak, dan sebagainya. Namun penggunaan teknik wawancara juga memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan teknik wawancara diantaranya adalah: dapat menggali lebih dalam informasi mengenai klien,praktis, dan tidak memerlukan waktu yang lama. Kelemahannya adalah data yang didapat belum tentu akurat, ada beberapa data subjek yang tidak dapat digali dengan menggunakan wawancara, pembicaraan pada saat wawancara melebar atau tidak fokus pada permasalahan, dan terkadang psikolog sendiri tidak hear and now.
Terdapat masalah-masalah saat mengaplikasikan teknik wawancara, diantaranya: terkadang informasi yang didapat belum tentu akurat, dan jujur. Biasanya hal seperti ini yang dialami oleh psikolog klinis anak, dimana informasi yang didapat bersumber dari orang tua klien. Orang tua terkadang denial akan keburukan yang dilakukan anaknya, sehingga psikolog kesulitan akan ketidak-akuratan informasi. Masalah kecocokan juga menjadi masalah saat mengaplikasikan teknik wawancara. Ketika seorang klien merasa tidak memiliki kecocokan maka data yang didapat tidak sepenuhnya atau bahkan terapi tidak akan berjalan lagi. Selain itu, masalah memori juga menjadi masalah saat mengaplikasikan wawancara, terkadang psikolog sendiri lupa apa yang akan ia tanyakan pada klien. Penanganan masalah tersebut juga telah dilakukan, diantaranya memiliki awareness, agar psikolog berfokus pada subjek, serta menambah wawasan mengenai kehidupan.
     Pada dasarnya teknik wawancara akan baik dilakukan oleh seorang psikolog jika ia telah memiliki jam terbang yang lama, karena pada setiap praktiknya akan melatih kemampuannya terus menerus. Setiap wawancara akan ada baiknya jika kita mencatat atau merekam. Merekam dapat dilakukan jika sudah ada persetujuan dari klien. Hal itu dapat menghindarkan kita dari sifat pelupa, dimana kemampuan memori kita pastinya terbatas. Berusaha tetap fokus pada klien juga menghindarkan kita dari pembicaraan yang tidak terarah. Pada saat melakukan wawancara ada baiknya dilakukan secara terstruktur, agar kita tidak mengikuti masalah klien sehingga menjadi terbawa dengan klien. Selain itu ingat mengenai bidang kita masing-masing. Jika kita telah berfokus pada salah satu bidang, misalnya psikolog klinis dewasa, tetaplah bekerja pada masalah-masalah yang dihadapi pada klien dewasa. Kita tidak boleh terjun ke dalam bidang yang tidak sesuai dengan bidang kita, karena hal tersebut tidak kita pelajari secara mendalam. Seorang psikolog klinis dewasa yang akan melakukan wawancara atau tindak lanjut berikutnya terhadap masalah seorang anak kecil, haruslah mengikuti pelatihan secara khusus terlebih dahulu.